Buku Dari Madinah Ke Radio Rodja (Stok Kosong)
Kode: BK378
Harga:
Rp. 37.500
Rp. 31.875 (Diskon)
Penulis: Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja, Lc., MA
Penerbit: Nashirus Sunnah
Tebal: 192 hlm
Berat: 0,3 kg
Ukuran: 14 cm x 20,5 cm
Judul Lengkap:
Buku Dari Madinah Hingga Ke Radio Rodja, Keteladanan Akhlak Dalam Bermuamalah (Sebuah Hikmah Perjalanan Bersama Syaikh Abdurrazzaq bin Abduh Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr Hafizhahullah)
Resensi:
PROLOG
Semangat beribadah terkadang memudar, semangat menuntut ilmu terkadang menyurut. Padahal, dalil akan keutamaan menuntut ilmu telah banyak dihafalkan. Demikianlah, jiwa terkadang dijangkiti rasa malas dan diserang rasa bosan.
Sungguh, betapa banyak orang yang akhirnya kembali bersemangat, bahkan lebih bersemangat dari sebelumnya dan terdorong untuk mencapai derajat yang tinggi disebabkan sejarah yang dibacanya, dikarenakan cerita yang didengarnya. Terlebih lagi jika itu adalah cerita teladan yang didengarnya. Terlebih lagi jika itu adalah cerita teladan yang didengarnya atau dibacanya dari orang yang hidup di zamannya.
Terkadang, jiwa tatkala diceritakan sejarah para sahabat atau para salafush shalih maka jiwa tersebut akan berbisik seraya mengeluh, “Itukan cerita orang-orang dulu ? Masanya kan berbeda ? Kita sekarang berada di zaman penuh fitnah, zaman dimana kita sangat membutuhkan materi dan tentunya tidak bisa disamakan dengan zaman salafush shalih”.
Demikianlah, jiwa selalu mencari-cari alasanuntuk bisa melegitimasi kekurangan yang ada padanya. Namun, bagaimana jika cerita teladan tersebut tentang seorang yang ada dizamannya … ? Terlebih lagi, orang tersebut ternyata masih hidup dan pernah dia temui … ? Dan ternyata kita menimba ilmu darinya … ? Tentunya hal ini akan lebih membekas dan memberi perubahan positif terhadap jiwa…
PRIBADI YANG ENGGAN DIPUJI
Ternyata keikhlasan memang perkara yang sangat mahal harganya. Lebih berat lagi adalah menjaga keikhlasan setelah memperolehnya…
Syaikh abdurrozaq pernah menjadi moderator saat Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menyampaikan nasihat kepada para mahasiswa Universitas Islam Madinah. Syaikh Abdurrozzaq memulai moderasinya dengan kalimat: “Alhamdulillah, pada kesempatan yang berbahagia ini kita akan mendengarkan muhadharah yang akan disampaikan oleh ‘Al-Allamah’ Muhammad bin Shalih …”
Tiba-tiba, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menimpali dengan suara yang lantang: “Uskut !!!”
Syaikh Abdurrozaq tersentak mendengar kalimat syaikh Muhammad yang memintanya diam. Beberapa saat kemudian barulah beliau sadar bahwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin tidak ridha jika digelari dengan ‘Al-Allamah’, orang yang sangat ‘alim…
Menolak Penulisan Gelar & Menolak Tersohor
……….
Menyembunyikan Tangis Untuk Menjaga Keikhlasan
……….
Uang Ini Bukan Dari Saya, Tapi Dari Orang Lain
……….
PERHATIAN BELIAU TERHADAP AMAL
Bahwasanya ilmu itu hanya memberi 2 pilihan dan tidak ada pilihan ketiga, yaitu Menjadi pembela bagi pemiliknya atau Menyerangnya pada hari kiamat jika tidak diamalkan …
Mengenai Syaikh Abdurrozzaq, sebagaimana pengakuan sebagian teman yang pernah dekat dengan beliau, bahwasanya beliau bukanlah orang yang paling ‘alim di kota Madinah, bahkan bukan pula orang yang paling ‘alim di Universitas Islam Madinah, karena pada kenyataannya masih banyak ulama lain yang lebih unggul dari beliau dari sisi keilmuannya. Akan tetapi yang menjadikan beliau istimewa di hati para mahasiswa adalah perhatian beliau terhadap amal, takwa, dan akhlak…
Syaikh Abdurrozzaq menjelaskan bahwa seseorang yang telah banyak mengumpulkan ilmu lantas tidak diamalkan maka hal ini menunjukan ada niatnya yang tidak beres….
Syaikh berkata, “Aku ingin mengingatkan sebuah perkara yang terkadang kita melalaikannya tatkala kita mempelajari ilmu Aqidah. Ibnu Qoyyim rahimahulloh berkata, “Setiap ilmu dan amal yang tidak menambah kekuatasn dalam keimanan dan keyakinan maka telah termasuki (terkontaminasi) …” Maksud ‘telah termasuki’ yaitu telah termasuki sesuatu, baik riya, tujuan duniawi, atau yang semisalnya, maka ilmu tersebut tidak akan bermanfaaat dan tidak akan diberkahi …
Orang Yang Tidak Shalat Shubuh Berjama’ah Bukanlah Penuntut Ilmu
……….
Ilmu Adalah Pohon Dan Amal Adalah Buahnya
……….
Semangat Beramal Mengalahkan Kelelahan Dan Kelemahan
……….
Manhaj Nabi !!!
……….
DAKWAH TANPA MEMBEDAKAN GOLONGAN
Demikianlah syaikh Abdurrozaq apabila telah melazimi sebuah pengajian maka beliau akan disiplin. Jika beliau telah menetapkan pengajian mulai selepas shalat ashar maka tetap harus jalan, bahkan terkadang ada orang penting yang ingin bertemu dengan beliau, bahkan kerabat beliau, maka beliau tunda pertemuan dengan mereka setelah mengisi pengajian di radio Rodja…
MENGUNDANG SYAIKH KE INDONESIA
“Aku tidak ingin meninggalkan tugas mengajarku,” jawab syaikh, mematahkan Harapan saya. Namun, tiba-tiba syaikh berkata, “Bisa, jika aku mengatur murid-muridku agar jam mengajarku ditunda & dirapel, namun kita hanya bisa bersafar ke Indonesia selama lima hari. Kita berusaha menyenangkan hati para pendengar radio Rodja dengan menziarahi mereka di Indonesia.”…
AKUPUN BERSAFAR BERSAMA BELIAU
“Karena aku ke Indonesia bukan untuk memihak salah satu golongan yang ada. Aku ke Indonesia untuk silaturahmi dan mengunjungi radio Rodja. Apakah engkau suka, “Ya Firanda, ada seorang syaikh yang datang ke saudara-saudaramu yang berselisih denganmu lantas mereka menceritakan keburukan-keburukanmu kepada syaikh tersebut ? Tentunya engkau tidak suka. Demikian juga, sebaliknya engkau tidak perlu menceritakan kondisi saudaramu-saudaramu yang berselisih denganmu. Toh, mereka tidak berselisih denganmu pada permasalahan akidah. Engkau dan mereka saling bersaudara diatas akidah yang satu.” …
“Ya syaikh, sebagian orang ada yang menyatakan bahwa aku adalah pendusta. Apakah aku berhak memebela diri dan menambah tuduhan tersebut ?”. “Wahai firanda, jangan kau bantah dia, bagaimanapun dia adalah saudaramu seakidah”. Jawab beliau. “Bahkan jika ada orang yang bertanya kepadamu tentang dia, maka tunjukan bahwa engkau tidak suka untuk membantahnya dan tidak suka membicarakan tentangnya. Engkau bersabar dan jika engkau bersabar percayalah suatu saat dia akan melunak dan akan menjadi sahabatmu”….
“Syaikh berkata, “Sekali-kali jangan kau bantah dia, selamanya jangan kau bantah dia !! Apakah engkau ingin yang membela dirimu sendiri ? ataukah engkau ingin Alloh yang akan membelamu !!! …
Jika engkau bersabar maka Alloh pasti akan mengutus tentaranya untuk membelamu. Pekaranya terserah engkau, apakah engkau yang akan membela dirimu sendiri –..mahluk yang sangat lemah..- ataukah engkau menyerahkan urusanmu kepada Alloh Dzat yang Maha Kuasa atas segala sesuatu” …
PESAWAT MENDARAT DI TANAH AIR TERCINTA
Maka beliaupun berkata kepada para hadirin sambil bercanda, “Firanda ini benar dalam menterjemahkan materi kajian, tetapi salah dalam menterjemahkan makanan”. Para hadirin yang ikut makan bersama kamipun tertawa…
TIBA DITEMPAT KELAHIRANKU SURABAYA
“Alhamdulillah yang telah mengumpulkan kita dari tempat yang berbeda-beda diatas keimanan”. Bahkan syaikh sempat mencandai mereka seraya berkata, “Firanda kalau nanti mereka mau mengambil jatah mereka diluar kabarkan ke panitia bahwa mereka bertiga sudah makan siang bersama kita”. Ketiga santri tersebutpun tertawa…
KEMBALI KE JAKARTA
Sebelum mengisi di studio radio Rodja beliau sempat bertemu dengan anak-anak kecil yang sudah berkumpul di halaman studio radio Rodja. Beliau berjabat tangan dengan anak-anak tersebut, serta beliau membagi-bagikan kue-kue dan buah-buahan yang ada di mobil yang disediakan buat beliau. Tidak cukup sampai disitu, kebetulan di dekat studio radio Rodja ada sebuah kios kecil yang menjual roti, maka syaikhpun mengeluarkan uang 100 real dan berkata, “Firanda beli semua roti yang ada di kios tersebut kemudian bagi-bagikan ke anak-anak!”…
Aku jadi ingat pernah suatu saat ada perselisihan yang timbul diantara para dai dari sebuah Negara. Sebagian dai yang berselisih tersebut masih belajar di kota Madinah, merekapun mengunjungi syaikh dan menyampaikan keluhan mereka terhadap sebagian dai-dai senior yang mengeluarkan kebijaksanaan yang kurang bisa diterima. Tatkala itu kebetulan aku sedang di rumah syaikh, jadi ikut mendengarkan keluhan mereka. Beberapa hari kemudian syaikh bertemu dengan dai-dai senior yang dikeluhkan tersebut dan kebetulan aku juga sedang bersama dengan syaikh, maka beliaupun berkata kepada dai-dai senior tersebut, “Si fulan dan fulan –maksud syaikh dai-dai muda yang mengeluhkan dai-dai senior tersebut di Madinah- serta teman-teman mereka di Madinah selalu memuji-muji kalian dan selalu menyebutkan kebaikan-kebaikan kalian”. Demikian kata syaikh kepada dai-dai senior tersebut. Setelah dia-dai senior tersebut pergi syaikh berkata kepadaku, “Ya firanda tidak ada yang lebih baik daripada mendamaikan diantara dua pihak yang bersengketa”. Kemudian membaca firman Alloh Subhanahu wa ta’ala surat AN-Nisaa aya 114 ….
KEMBALI KE KOTA SUCI MADINAH
Batinku berkata, “Ternyata semakin tinggi ilmu seseorang semakin semangat belajar, bahkan di tengah keramaian seperti bandara, beliau tetap belajar memanfaatkan waktu”…
RENUNGAN
Contoh-contoh teladan yang dibawakan syaikh diatas tidak lain adalah sebagai cambuk bagi kita yang masih sangat kurang dan jauh dari akhlak para ulama. Terkadang kita merasa akhlak kita sudah baik karena seringnya kitaberhusnudzon pada jiwa kita yang sangat lemah ini. Namun jika kita membaca perjalananhidup para ulama dan menela’ah akhlak mereka nampaklah bahwasanya kita sungguh jauh dan sangat jauh …
PERINGATAN
Sebagian orang menyangka bahwasanya yang dinamakan dengan ketakwaan adalah hanyalah menjalankan dan menunaikan hak-hak Alloh tanpa memperhatikan hak-hak hambaNya. Mereka menyangka bahwasanya penerapan ajaran agama hanya terbatas pada bagaimana hubungan dengan Alloh tanpa memperhatikan bagaimana berakhlak mulia terhadap hamba-hambaNya…
PENUTUP
Ya Alloh tunjukanlah kepada kami untuk berhias dengan akhlak yang terbaik karena tidak ada yang bisa menunjukan kami kepada hal itu kecuali Engkau, dan jauhkanlah kami dari akhlak yang buruk dan tidak ada yang bisa menjauhkan kami kepada hal itu kecuali Engkau…
Resensi ini kami ambil dari note salah satu ikhwah di facebook.
<strong>Harga:</strong>
<del>Rp. 30.000</del>
<strong>Rp. 25.500 (Diskon)</strong><!–more–><strong>Penulis</strong>: Abu Umar Basyir
<strong>Penerbit</strong>: Fata Media
<strong>Tebal</strong>: 195 hlm
<strong>Berat</strong> : 0,2 kg<strong>Resensi:</strong>Buku yang berisi belasan kisah nyata dari orang-orang yang dikenal oleh penulis buku ini menyadarkan kita bahwa poligami memiliki kisah-kisah unik. Kisah-kisah ini sebagian dituturkan oleh si suami, sebagian oleh istri pertama, ada pula kisah dari istri kedua.
Poligami akan menjadi indah dalam kehidupan berkeluarga bila dilakukan secara bertanggung jawab, proporsional, mengindahkan ajaran islam. Namun bila dilakukan serampangan, nyaris tak mengindahkan aturan syariat, mengabaikan prinsip maslahat, maka segala kericuhan dan prahara bisa menanti di depan sana.
Mari, luangkan waktu sejenak mengikuti kisah demi kisah. Insyaallah kita akan semakin secara sadar, bahwa dengan atau tanpa poligami, selama rumah tangga itu kita jalani dengan aturan Yang Maha Kuasa pasti ujung dari segalanya adalah kebahagiaan jiwa.Berikut ini cuplikan dari salah satu kisah dalam buku ini:
****************
“Aku harus berpoligami. Harus, tidak boleh tidak.” Suamiku berkata dengan nada suara keras dan tegas. Itu sudah sering diungkapkan oleh suamiku, setidaknya satu bulan terakhir ini.
Kami menikah saat usia kami sama-sama 26 tahun. Kami mengaji di majelis ilmu yang sama, lalu di antara kami ada ketertarikan, kamipun menikah. Saat menikah, suamiku belum memiliki pekerjaan. Bahkan untuk mengontrak rumahpun, kami mendapat bantuan keuangan dari keluarga besar kami.
Setelah menikah, suamiku berusaha mencari pekerjaan ke sana ke mari, namun tak juga beroleh pekerjaan. Suamiku berusaha untuk berjualan, mengikuti temannya. Tapi, tampaknya ia tak berbakat di dunia bisnis. Berkali-kali ia ikut berjualan, selalu saja mengecewakan orang lain. Akhirnya, kami banyak hidup dari belas kasihan orang lain. Uniknya, suamiku seolah-olah tak merasa bersalah sama sekali. Menjalani hidup rumah tangga seperti itu, selain menyebalkan, juga menebalkan mukaku.
Setelah satu tahun kami menjalani pernikahan, suamiku memperoleh pekerjaan. Meski jauh dari yang dimaui oleh suamiku, kami menerima tawaran itu dengan suka cita. Minimal, kami memiliki penghasilan bulanan, meski jumlahnya tidak seberapa. Dari situ, kami mulai bisa makan dari keringat kami, di rumah kami sendiri. Ya, setelah satu tahun lebih kami menikah. Tentu saja, hidup kami masih sangat kekurangan. Jangankan berpikir untuk bisa membeli pakaian atau peralatan rumah tangga. Sekadar untuk makan tanpa meminta kepada orang lain saja, itu sudah lumayan. Dan aku sangat menyukurinya.
Tapi, datang pula hal lain yang merisaukan hatiku.
Suamiku sedang berhasrat kuat untuk berpoligami. Kebetulan, di pengajian, ustadz kami sering membahas soal poligami. Dari berbagai penjelasannya, suamiku memahami bahwa poligami itu adalah sunnah. Intinya, bahwa setiap muslim disunnahkan untuk berpoligami. “Orang yang tidak berpoligami, itu pengecut,” ujar Ustadz kami. Simak saja firman Allah, “Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya….” (An-Nisaa : 3)
Nah, seorang muslim yang gak berpoligami, berarti ia penakut…”
Ungkapan itu disampaikan dengan canda, tapi ditanggapi begitu serius oleh jama’ah pengajian. Terutama kaum prianya. Berderai tawa mereka mendengar ungkapan Ustadz kami tadi. Banyak anggapan beredar bahwa poligami itu memang disunnahkan secara khusus, sehingga setiap mereka berjuang keras untuk bisa berpoligami, tanpa memerhatikan kemampuan, tanpa mencermati situasi dan kondisi. Bahkan mengabaikan sama sekali pendapat dan kondisi isterinya!!!
Itulah yang terjadi di lingkungan pengajian kami. Kalaupun ada Ustadz-ustadz lain yang memberi penjelasan poligami secara lebih komprehensif, malah justru kurang diminati dan ditanggapi secara layak. Sehingga, sebagai akibatnya, kebanyakan hadirin terprovokasi untuk berlomba-lomba berpoligami, termasuk suamiku.
“Aku harus berpoligami. Harus, tidak boleh tidak.” Itu yang kini sering diucapkan suamiku.
Selama hampir satu bulan, suamiku selalu membicarakan soal poligami. Yang lebih membuatku tak nyaman, seringkali ‘Ustadz’ mampir ke rumah kami, mengobrolkan soal keinginan suamiku berpoligami. Mereka seolah-olah tak lagi memedulikan perasaanku sebagai wanita. Mereka begitu nyamannya mengobrolkan poligami, seolah-olah aku tak ada di dekat mereka!!
Akhirnya, suamiku ditawari oleh Ustadz tadi seorang muslimah. Mereka berdua setuju untuk menikah, dan kedua orang tua si gadis juga merestuinya.
Meski mereka pun tahu, kondisi perekonomian kami mpot-empotan. Singkat kata, pernikahan dengan istri kedua dilakukan. Sama dengan saat menikah denganku, akad dilakukan secara sederhana saja. Dan lagu lamapun mendendang kembali. Untuk mengontrak rumahpun, suamiku harus pinjam sama pinjam sini. Aku sangat mengkhawatirkan kehidupan kami. Kami masih hidup serba kekurangan, apalagi dengan dua orang isteri? Aku bingung dibuatnya. Tapi, alhamdulillah, antara aku dan maduku, tak terjadi hal-hal yang kurang menyenangkan. Kami bisa saling memahami, berusaha membangun saling pengertian. Kami juga saling mengunjungi, hampir setiap hari. Kadang kami masak bersama, dan melakukan segala hal bersama.
Seiring berjalannya waktu, di tempatnya bekerja, suamiku sering mendapat teguran karena sering mangkir. Bila ditanya, alasannya sedang tidak fokus, bingung memikirkan keluarga. Tapi kenyataannya, setiap kali tidak mengajar, suamiku hanya tidur-tiduran di rumah saja. Padahal, gaji bulanan selalu dibayar penuh tepat waktu. Dan, yang kukhawatirkan terjadi juga. Boss tempat bekerja memecat suamiku. Meski itu dilakukan dengan bahasa yang santun, melalu surat resmi dan juga secara langsung di hadapan suamiku, tapi tetap saja kami terperanjat. Aku dan maduku juga semakin ketar-ketir.
Kini suamiku sering banyak mengobrol dengan teman-temannya, membicarakan rencana bisnis yang tak pernah kesampaian. Aku tahu, suamiku bukan tak mau berusaha. Tapi ia terlalu idealis. Seringkali ia mengungkapkan konsepnya yang melambung-lambung soal bisnis, tapi di areal yang sangat sulit kami jangkau dengan kemampuan kami sekarang ini. Sehingga, dari hari ke hari ia tak juga menggeluti bisnis apapun. Padahal, kebutuhan kami kian hari juga kian bertambah.
Bayangkan saja, anakku kini sudah berusia 2 tahun lebih. Kebutuhannya sudah makin banyak. Maduku sekarang juga sedang mengandung. Ia juga butuh makanan yang lebih layak. Sementara, penghasilan suamiku satu-satunya yang begitu kami harapkan –meski jauh dari mencukupi—kini melayang sudah. Pikiran kami kalut. Anehnya, suamiku terlihat biasa-biasa saja. “Insya Allah, ada rezki dari arah yang tidak disangka-sangka…” suamiku beralasan lagi.
Satu tahun sudah, semenjak dipecat dari pekrjaannya, suamiku berlari dari satu pekerjaan ke pekerjaan yang lain. Tapi, ujungnya nyaris sama: kalau tidak diberhentikan karena malas, berhenti tanpa sebab yang jelas. Ia nyaris tak pernah menggubris usul-usul kami. Termasuk, kembali lagi ke tempat kerjanya dulu, yang dengan tangan terbuka masih mau menerimanya kembali, asal ia bisa disiplin. Kami pernah memberi usul, bagaimana kalau aku yang bekerja? Suamiku malah marah luar biasa. Maduku memberi usul untuk membuat kue, dan ditawarkan ke warung-warung. Suamiku juga
menolak. “Wanita, lebih baik di rumah saja…” Kami kembali terbungkam.
Maduku kini sudah dikaruniai seorang anak lelaki manis, berusia 4 bulan. Anakku sendiri sudah berusia 3 tahun. Kehidupan kami kembang kempis tak karuan. Kami sering bertemu, dan saling mengeluhkan kondisi kami. Kami tahu, mungkin tak pantas kami berkeluhkesah seperti ini. Tapi, ini realitas yang tak dapat kami pungkiri. Suami kami terbukti tak mampu menghidupi kami secara layak, dan tak terlihat gigih mencari rezki demi penghidupan kami. Aku, maupun maduku, pernah sesekali berinisiatif untuk mundur. Maksudku, biarlah aku memilih pisah dari suamiku. Tapi maduku justru menawarkan hal yang sama, biar dia saja yang bercerai dari suamiku, agar aku bisa hidup layak bersamanya. Tentu saja aku tak mengijinkannya. Lama bergaul dengannya, di antara kami sudah terjalin tali kasih. Aku sayang kepadanya. Aku tak ingin ia menderita. Sebagaimana akupun tak ingin diriku menderita.
Tapi, para pembaca sekalian, apa yang dapat kami lakukan?
Kami ingin, semua kami berbahagia. Dan kami selalu berusaha untuk bersabar dan tabah menjalani semua ini. Tapi, sampai kapan? Kondisi kami kian hari kian memburuk saja. Meski tak kuyup prahara, tapi kami mulai merasakan gemuruh derita. Percikan-percikan kecil derita yang kian hari kian menggemuruh, dan membuat kami makin tak punya daya.
Pembaca sekalian, bukan kami menolak poligami. Tapi bila beginilah yang kami terus alami, lambat laun, wajarlah, bila kini kami mulai membencinya….
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah : 216)
Ya Allah, ampunilah aku..********************
Ini adalah salah satu kisah pelaku poligami, dalam buku ini disebutkan 13 kisah, ada yang baik dan ada yang gagal dalam pernikahan mereka. Ada yang akhirnya bercerai, akan tetapi ada juga yang dengan berpoligami malah menimbulkan keharmonisan dalam keluarga tersebut. Jadi intinya bagaimana syariat poligami tersebut dilakukan sesuai proporsinya, jika dilakukan dengan ikhlas dan sesuai petunjuk syariat insyaallah akan menghasilkan pernikahan yang langgeng, namun sebaliknya, bila dilakukan secara serampangan maka justru akan menimbulkan kerusakan, bahkan cobaan bagi yang lain.
Selamat menyimak…